Blog Archives

Katalog IFA Cookware Edisi Mei-Juni 2013

Katalog IFA Cookware edisi Mei-Juni 2013 telah terbit! Dapatkan produk-produk fungsional dan gaya untuk keperluan meja makan atau dapur Anda dengan berbagai tambahan warna baru yang semakin cerah. Juga patut untuk diburu berbagai produk baru dari IFA Cookware dan ichef agar kegiatan memasak Anda semakin bersemangat dan lebih hidup. Dan jangan lupa, menyajikan dan memasak dengan IFA Cookware dan ichef tentu lebih nyaman dan gaya. IFA Cookware, Vibrant and Lively!

Segera klik gambar di bawah ini untuk melihat isi katalog dan temukan item ekslusif baru Anda di sini. Khusus untuk Anda para member IFA. Belum jadi member? Hubungi Admin di nomor ini: 08995078510.

Katalog IFA Cookware Mei-Juni 2013

Katalog IFA Cookware Mei-Juni 2013

Katalog IFA Edisi Mei 2013

Katalog IFA edisi Mei 2013 telah terbit! Dengan banyak item baru yang akan membuat gaya Anda semakin update. Jangan lewatkan item promosi berupa dompet dan sepatu di halaman awal yang ekslusif khusus untuk para member IFA Dahsyat.

Segera klik gambar di bawah ini untuk melihat isi katalog dan temukan gaya item ekslusif baru Anda di sini. Khusus untuk Anda para member IFA. Belum jadi member? Hubungi Admin di nomor ini: 08995078510.

Salam Dahsyat!

Katalog IFA #5 Mei 2013

Katalog IFA #5 Mei 2013

From Zero to Hero

Mereka yang saat ini meraih posisi puncak di bidang usaha yang dirintisnya tak semuanya ditopang oleh modal besar pada awalnya. Tak sedikit justru bermodaI NOL sebagai bekal melangkah untuk merenda keberhasilan.

Oleh: Tanu Sutomo (Direktur Utama IFA)

Itulah yang kemudian muncul dan lalu terkenal dengan sebutan perusahaan atau pengusaha dengan julukan from zero to hero. Dari modal nol, lalu berkembang menjadi deretan banyak nol di belakang angka.

Dunia entrepreneurship di negeri kita memang tengah menggembirakan. se­jumlah Perguruan Tinggi (PT) bergeliat membuka fakultas clan jurusan entrepre­neurship. Bahkan mulai pula tumbuh sejumlah PT yang mengkhususkan diri sebagai sekolah atau kampus entrepreneur, Tak hanya mengajarkan teori, sebagian besar dari mereka juga melatih peserta didik untuk menjadi wirausahawan sejati,

Namun, ditengah menggeliatnya upaya hanyak pihak untuk menum­buhkembangkan entrepreneur-entrepreneur muda berkualitas ada saja hamba­tan yang kerap dinilai sebagai hambatan, Salah satunya adalah modal usaha yang oleh kebanyakan orang yang hendak merintis usaha harus berjumlah besar.

Tidak selamanya demikian. Saya adalah salah seorang yang membuk­tikannya. Awal merintis IFA pada 20 tahu­nan silam, boleh dibilang berrnodalkan nekad. Artinya, modal dana tidak saya jadikan ukuran utama untuk berani melangkah. Melainkan keinginan kuat, se­mangat menggebu untuk merubah nasib agar menjadi lebih baik.

Jadi, awalnya saya bersama Jarot Wi­janarko hanya bermodalkan NOL belaka. “Ah, mana mungkin?” pikir Anda kali. Nol itu adalah angka yang kosong melompong, tak ada nilainya. Bagaimana mungkin kita bisa memulai usaha tanpa modal (dana) yang cukup? Betul. Jika kita menggunakan pola pi­kir yang dianut oleh kebanyakan orang. Tapi, bagi sebagian orang-orang yang luar biasa dahsyat, yang memulai usaha dari nol, sebenarnya angka nol, sebagaimana pernah diulas menarik oleh Agoeng Wi­dyatmoko, mengandung filosofi yang be­gitu mendalam.

Pertama, coba perhatikan, angka nol bentuknya bulat lonjong, tanpa terpu­tus. Maknanya adalah bahwa kita – tidak bisa tidak – selalu akan tergantung satu sama lain. Semakin kita bisa saling beker­ja sama dengan orang lain, kesempatan menjadi pengusaha akan kian terbuka lebar. Keterkaitan kita dengan lainnya sagat bermanfaat untuk menjamin kelan­caran sebuah usaha. Terlebih jika bidang yang kita geluti berbasis multy level mar­keting. Keterkaitan dan ketergantungan dengan yang lain itu akan sangat terasa.

Laksana puzzle pula, kemampuan satu bidang pada diri kita akan dipenuhi oleh kemampuan orang lain di bidang lainnya, baik untuk saling melengkapi, ataupun saling support demi keberhasi­lan bersama.

Kedua, biasanya bentuk angka nol se­lalu lonjong memanjang ke atas, bukan bulat penuh atau lonjong ke samping, Ini adalah filosofi hubungan kita dengan Sang Khaliq. Kita bisa menjadi seorang pengusaha harus senantiasa mengingat ke atas. Bahwa, kita bisa sukses atau sebaliknya itu selalu ada dalam koridor kekuasaan Tuhan.

Bukankah Tuhan juga mengatakan bahwa, Dia tak akan mengubah suatu kaum tanpa kaum itu berusaha mengu­bah nasibnya sendiri. Bagi saya, inilah filosofi angka nol yang begitu religius. Jika hal ini selalu kita jadikan pegangan, maka dalam menjalani profesi menjadi pengusaha, kita tak perlu khawarir. Sebab, hidup ini tentulah selalu dalam koridor kekuasaan Tuhan yang Maha Besar de­ngan segala rahmat dan berkah yang sa­gat melimpah.

Ketiga, banyak pengusaha yang me­nganggapnya ini paling penting yang harus kita sadari. Bahwa, nol itu adalah sebuah singkatan dari kata tolong-meNOLong? lnilah poin penting dari mengapa seseorang dengan modal nol bisa men­jadi pengusaha sukses. Ini pula yang lalu banyak orang menyebutnya From Zero to Hero jika seseorang yang memulai dari bawah dan dari nol bisa menjadi entre­preneur sejati.

Sesungguhnya kekuatan tolong-me­nolong itulah yang menjadi kekuatan inti dari modal utama. Modal (baca: uang) seberapa pun jumlahnya tidak akan bisa membuat kita sukses jika tidak ada un­sur saling menolong ini. Modal semacam inilah yang akan membantu kita menjadi entrepreneur sesungguhnya. Misalnya, kita memiliki keinginan agar bisnis jari­ngan kita tumbuh berkembang sesuai impian kita, maka kita membutuhkan orang lain, upline, downline, support system, dll untuk menolong kita, bahu-membahu, bekerjasama mencapai kemajuan usaha.

lntinya adalah modal nol ternyata bukan modal kosong sama sekali. Mo­dal tersebut justru, adalah modal yang sangat dahsyat untuk mengembangkan jiwa entrepreneurship kita. Nilai keber­samaan, kekeluargaan, keterkaitan satu sama lain, unsur religius berupa kekutan Tuhan yang harus kita syukuri dan dimak­simalkan, hingga sikap saling tolong me­nolong, selalu ciptakan nilai, akan mem­buat sebuah usaha bisa.

*Disadur dari majalah The Intrepreneur edisi Januari-Februari 2012

Menjadi Entrepreneur Uang Bukan Modal Utama

Kadangkala seseorang ingin menjadi entrepreneur mengalami hambatan. Semen­tara sesungguhnya bangsa ini masih kurang jumlah entrepreneurnya. Lalu, benarkah uang bukan satu-satunya modal utama saat seseorang mau membuka usaha?

Sebagai bangsa besar dengan jumlah penduduk kurang lebih 238 juta jiwa, lndonesia menempati ranking ke-4 di dunia. Namun rangking ini justru berbanding terbalik jika melihat dari jumlah orang yang bergelut sebagai entrepreneur. Berdasarkan perhitungan dari Kementerian Koperasi dan UKM, tercatat hanya 0,24% saja yang menjadi entrepreneur atau berwirausa­ha. Angka ini masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara tetangga lingkup ASEAN. Di Singapura terdapat 7,2% pengusaha, Thailand berjum­lah 4,1% serta Malaysia sekitar 3%. Sementara untuk kawasan Asia, Jepang dan China jumlah entrepreneurnya mencapai 10%.

Jika melongok ke negara adi kuasa, Amerika Serikat, cukup banyak yang menjadi pengusaha. Disana tercatat 12% penduduknya menjadi entrepreneur, dalam setiap 11 detik lahir entrepreneur baru. Data juga menunjukkan jika 1 dari 12 orang Amerika terlibat langsung dalam entrepreneur.

Peran entrepreneur sesungguhnya sangat menentukan dalam kemajuan suatu bangsa atau negara. Tapi menga­pa orang lndonesia masih sedikit sekali. Padahal menurut David Mc Cleiland, se­orang sosiolog, sedikitnya dibutuhkan minimal 2% wirausaha dari populasi penduduk. Sehingga jika dihitung, masih dibutuhkan sekitar 4,8 juta wirausaha di lndonesia sekarang ini.

Faktor apa yang menyebabkan hal demikian? Salah satunya adalah mo­dal. Tidak sedikit mereka mau memulai usaha, yang dipikirkan masalah modal. Dari mana untuk mendapatkan modal, sementara uang atau tabungan yang di­milikinya tidak ada. lngin meminjam ke bank, belum tentu dapat disetujui. Sebab persyaratan yang diajukan pihak bank ka­dang kala terlalu sulit.

Pemerintah sendiri dalam hal ini, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) RI sebenarnya telah mengalokasikan dana program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp20 tril­iun dalam APBN 2011. Namun lagi-lagi, nampaknya KUR dijalankan setengah hati. Tidakjarang UKM tak bisa mencicipi dana yang tersedia.

“Orang selama ini bingung ketika mau memulai sebuah usaha, terbentur terutama masalah permodalan atau uang,” ungkap Mas Kemal Rausyan Fikri. Uang, sambungnya, sebenarnya bukan satu-­satunya modal utama. Sebab, kalau dia tidak punya, tentunya tidak akan jalan-jalan atau terealisasi idenya.

Kekuatan atau power diri kita sendiri sesungguhnya yang paling penting. Sebab, kata Mas Kemal, kalau kekuatan kita berupa kemauan, tidak ada, usaha pun tidak ada. Kemudian juga, yang tidak bisa dilupakan adalah link atau jaringan (kenalan). Kalau memiliki link, kita bisa sharing atau menjelaskan bisnis plan yang dimiliki. Sebab tidak mustahil, de­ngan bisnis plan yang jelas, link kita akan percaya dan memberikan bantuan mo­dal. Diupayakan agar link itu merupakan orang terdekat, bisa famili, saudara, om atau tante serta kenalan. Tapi perlu di­ingat, dipilih mereka yang benar-benar memiliki kemampuan finansial yang lebih.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah sebesar apa usaha yang akan dibuka dan bagaimana pangsa pasar atau pendapatan yang akan diperoleh. Sebab jangan sampai usaha yang dibangun cukup besar tapi pendapatannya kecil.

“Bisa saja kita membuka usaha di grobak tapi penghasilan yang didapat cukup besar,” jelas Mas Kemal. Jika meminjam uang ke bank atau pemodal dengan jaminan surat berharga, Mas Kemal menyarankan agar bagi yang baru mau buka, usahakan jangan. Sebab belum diketahui pendapatannya. Terkecuali ka­lau memang sudah jalan usahanya, kita ajukan ke bank, kita ketahui penghasilan­nya, bunga yang akan dibayarkan dan ke­untungan yang didapat.

Untuk mereka yang memang terta­rik buka usaha, punya modal terbatas dan tidak mau direpotkan dengan cara penjualannya, mungkin bisa mencoba waralaba atau franchise. Banyak sekali waralaba di tanah air yang menawarkan dengan harga cukup murah, di bawah Rp 5 juta rupiah.

Disadur dari majalah ‘The intrepreneur’ edisi November 2011

Penulis: Marhadi Yudi